Tragis juga
menyakitkan jika dikatakan warga Tionghoa adalah kaum jajahan. Tak ada niat
sedikitpun dalam diri ini untuk menghancurkan Indonesia, tanah kelahiran saya. Malahan
saya selalu membanggakan tanah air di depan semua orang, hingga memiliki cita-cita
untuk memamerkan keindahan alam Indonesia sampai ke mancanegara. Baik dari segi
keragaman budaya, ciri khas makanannya, pemandangan alamnya, dan lain-lain.
Sebab negara kepulauan tempat saya berpijak, lebih elok dibanding negara
manapun di dunia!!!
Saya pun selalu
menyayangkan kebiasaan orang kita dalam berkomunikasi atau mengkonsumsi makanan
maupun minuman. Kerap kali kita cenderung berpola hidup seperti orang Barat.
Contohnya saja, memakan makanan junk food seperti burger. Mereka mengkonsumsi
itu karena sulitnya menanam sayuran atau harga sayur yang terlalu tinggi.
Sehingga mereka menyukai makanan junk food yang buat kenyang juga murah.
Jadi, buat apa kita
ikut-ikutan gaya mereka? Toh, sayuran di Indonesia melimpah ruah, jadi kita
dapat memakannya tiap hari. ^_^. Ditambah lagi bagus banget buat kesehatan
tubuh kita..hehehe…
Banyak deh yang buat
saya makkkkkkkkkkkiiiiinn cinta kepada negara yang ibukotanya Jakarta…
Hanya saja..hmm..Walau
saya dan teman-teman seperjuangan bersikap patriot, tetap saja kami dikucilkan
oleh bangsa saya sendiri. Sehingga impian saya mulai meredup.
Dari kecil, saya
sering dihina dengan sebutan “cina”, ”sipit”, dan sebagainya. Memang kata
tersebut cuma kata biasa, tetapi cukup menyakitkan bagi warga Tionghoa.
Seolah-olah etnis Tionghoa tak dihargai.
Jika hanya kata-kata
cemoohan, saya masih bisa tahan. Namun biasanya, kejahilan yang menekan batin
juga fisik harus saya telan bulat-bulat. Salah satunya, sewaktu saya berumur 5
tahun, saat itu saya suka bermain sepeda sendirian di kompleks perumahan, lalu
datang sekelompok anak yang menamai diri mereka sebagai kaum pribumi. Karena
mereka tidak senang saya bermain di area yang sama, lagi-lagi disebabkan ras.
Sehingga gangguan fisik pun dialami saya. Dibuatlah saya jatuh kemudian sepeda
saya dilindas mereka, kejadian itu menimbulkan bekas luka di lutut saya sampai
sekarang. Nyebelinnya, sehabis merusak sepeda kesayangan eke, salah satunya
meludah dekat saya yang sedang terbaring di aspal sambil berkata, “Rasain lu!
Dasar cina!!”.
Sepulangnya di
rumah, ibu saya kaget melihat putrinya berlumur pasir dengan luka-luka di lutut
dan lengannya. Abis diobati, saya mulai bertanya seputar fisik saya. “Ma,
memang kenapa kita jadi orang cina? kenapa aku dibenci orang-orang itu? aku
salah apa? jadi, aku orang apa? Kenapa kita jadi orang Indonesia?”, itulah
pertanyaan-pertanyaan yang saya lontarkan ketika kecil (ingatan saya tajam
lho..hihi..). Tapi ibu saya hanya diam lalu mengalihkan percakapan dengan
melihat burung terbang di langit. Walau saat itu, saya merasa ibu saya seperti
menangis.
Mungkin peristiwa di
atas, adalah segelintir masalah diskriminasi yang dialami saya. Setelah
beranjak ke sekolah menengah pertama, saya terkejut! Ternyata banyak seumuran
saya (kaum Tionghoa) yang mengalami hal demikian, meski beda peristiwanya. Maka
dari itu, teman-teman saya cenderung membatasi diri dalam bergaul dengan kaum
yang beda etnis. sedih sih.. huhu..
Walau bentuk serta
warna kulit kami berbeda dengan orang Indonesia pada umumnya, kami tetap orang
Indonesia dan juga mau ikut membela negeri ini.
Tetapi kenapa warga Tionghoa
selalu dijadikan bulan-bulanan ketika ada kejadian buruk? Padahal sebagian
besar dari kami tidak terlibat akan kejadian itu.
Di sini saya tidak
ingin memancing amarah siapapun, cuma sekedar sharing apa yang saya rasakan
selama ini. Dan berharap dapat bermain tanpa harus memandang SARA. Menurut
kalian (para pembaca), salah kaum Tionghoa dimana?